
Cerita Rojali, Rohana, dan Pelemahan Daya Beli
Failed to add items
Add to basket failed.
Add to Wish List failed.
Remove from Wish List failed.
Follow podcast failed
Unfollow podcast failed
-
Narrated by:
-
By:
About this listen
Fenomena rombongan jarang beli (Rojali) dan rombongan hanya tanya (Rohana) di mal dan pusat perbelanjaan banyak dikaitkan dengan kemiskinan di perkotaan. Rojali dan Rohana dianggap mencerminkan pelemahan daya beli karena masyarakat mengerem belanja.
Namun, analisis itu ditepis Kementerian Perdagangan dengan mengklaim bahwa saat ini daya beli masyarakat masih terjaga. Rujukannya adalah data Bank Indonesia pada Mei 2025 yang menunjukkan Indeks Penjualan Riil (IPR) masih tumbuh 1,9 persen yoy, dan IPR Juni juga diperkirakan kembali tumbuh 2 persen yoy.
Setali tiga uang, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan tren Rojali dan Rohana merupakan bentuk dinamika konsumsi masyarakat yang berubah di tengah tekanan ekonomi, bukan perkara kemiskinan.
Jumlah penduduk miskin nasional per Maret 2025 tercatat 23,85 juta orang. Menurut BPS, ini capaian angka kemiskinan terendah selama 20 tahun terakhir.
Namun, ketika diulik, persentase kemiskinan di kota justru naik menjadi 6,73 persen dan angka setengah pengangguran di perkotaan meningkat 460 ribu orang. Hal ini menunjukkan bahwa keterbatasan pendapatan juga dialami masyarakat urban.
Apakah tren Rojali dan Rohana layak dijadikan indikator kemiskinan? Bagaimana pengusaha pusat perbelanjaan dan pembuat kebijakan merespons fenomena ini? Bagaimana intervensi pemerintah dalam mendongkrak daya beli masyarakat dan menekan angka kemiskinan di perkotaan?
Di Ruang Publik KBR kita akan bahas bersama Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonsus Widjaja, Staf Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Ninasapti Triaswati Ph.D, dan Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PDIP Selly Andriany Gantina.